Senin

Sekantong Lilin (cerita pendek)


Sekantong Lilin
Original created by Noona Luna (kucingselam) 

 Untuk kesekian kalinya aku kerasan ada di kelas karena sibuk memandangi sesosok pangeran yang rajin. Dia begitu memukau bagi hampir semua orang yang mengenalnya. Tiap ketemu aku selalu tak lupa menyapa, tentu saja aku memang bukan tipe cewek jaim.
 Namanya Arian, sejak mengenalnya aku memang memiliki perhatian khusus terhadap sosoknya. Namun sepertinya dia sudah menganggapku seperti saudara perempuannya sendiri. ok, sometimes kisah cinta harus dimulai dengan sebuah hal aneh, dan entah kerasukan apa.. di sebuah acara yang sedang digelar oleh angkatanku tiba-tiba aku marah-marah pada Aria hanya karena hal sepele, dia salah menempatkan sebuah meja. Dih..enggak banget kan?! Pokoknya itu pasti bikin dia dongkol. Acara ini berlangsung dua hari dan tentunya semua panitia berikut peserta ikut nginep semua. Ketika malam datang dan panitia sibuk menyiapkan ini itu untuk keperluan acara jurit malam, aku inisiatif ngebantuin Arian yang keliatan sibuk. Yaa.. salah satu bentuk permintaan maaf gitu, soalnya tugasku cuma untuk menyiapkan acara siang hingga sore aja. 
"Nyari apa?" tanyaku tiba-tiba ketika melihat Arian kebingungan seperti mencari-cari sesuatu di kotak bertuliskan 'logistik'.
"Lilin.. kok gak ada ya?"
"Hmm.. kayaknya emang gak ada yang beli lilin. kali.." jawabku sambil ikut membantu.
"Kamu..." ucap Arian kaget melihatku ada di sampingnya.
"Iya aku.. maaf soal tadi siang ya.." pintaku dan Arian hanya terdiam menatapku sebentar kemudian bertanya kepada anak logistik mengenai keberadaan lilin, dan benar saja tidak ada yang membeli lilin. "Jadi sekarang mau beli lilin?" tanyaku.
"Iya." jawabnya singkat.
"Oke, mungkin ntar bisa aku bantu bawain. Jadi aku ikut sama kamu ya?"
"Gak usah di bantuin juga bisa kok." jawabnya.
"Ya udah kalo gitu, aku mau ikut jalan-jalan ke bawahnya aja.. engga bantuin juga engga apa-apa.. aku malah seneng kali.. hehehehe..." aku nyerocos sambil naik ke boncengan sepeda motornya.
"Jirrr.. sarap! Sana bantuin yang laen aja, kan pada sibuk tuh.." sahutnya ketika menyadari aku sudah naik.
"Kan aku dateng ke acara ini tuh kamu yang minta.. tadinya malah ga akan bantu-bantu kan? Kamu yang bilang, padahal aku udah nolak buat dateng. Mending juga santai di rumah atau main game." Aku memprotes.
"Ya udah.. pegangan, aku mau ngebut nih!" katanya seraya memutar kendali gas di tangan kanannya.
 Kemudian kami berboncengan mencari toko maupun warung yang masih buka. Maklum cukup sulit mencari warung grosir yang masih berjualan pada jam sepuluh malam di daerah ini. Pencarian lilin ini lebih mirip jalan-jalan karena sejak tadi sepeda motor yang kami tumpangi tidak kunjung berhenti dan ini sangat menyenangkan. Yang membuat menyenangkan tentu saja karena bersama Arian. Tentu tidak ada yang salah, aku dan Arian sama-sama tidak punya pasangan alias jomblo. Ingin rasanya bilang pada Arian kalau aku suka banget sama dia. Dia tuh tipe cowok idaman... ok, gak ganteng-ganteng amat tapi..begitulah. Hal yang membuat aku bertambah ciut untuk menyampaikan perasaanku padanya adalah karena aku sangatlah bukan tipe ceweknya!
Akhirnya motor menepi, Arian segera turun dan membeli sekantong penuh berisi lilin yang kemudian dia gantungkan di gantungan yang berada di bawah lubang kunci kontak.
"Udah cuma segitu aja?" aku melongok ke arah depan melewati bahunya.
"Ho-oh."
"Wah, parah! Kayak mau ngepet! Aku sih bagian jaga aja ya? Hehehehehe.." seketika tertawa ngakak ditengah sunyinya jalanan malam yang gelap. "Udah cepet balik ke anak-anak yuk!" ajakku menyela gelak tawanya yang masih tersisa. Beberapa detik kemudian kami sudah melaju, menembus dinginnya malam yang berkabut.
 Lima menit perjalanan menuju camp terasa lama. Mungkin karena udaranya yang semakin dingin kian menusuk tulang-tulangku.
"Gak akan ada yang marah kan?" kataku seraya melingkarkan kedua tanganku di pinggang Arian, memeluknya. Namun Arian hanya terdiam. "Keberatan ya? Pasti gak suka dan risih? Gak boleh? Tapi bener deh dingin banget! Tanganku nyaris beku nih.." lalu aku bersandar di punggung Arian tanpa memperdulikan responnya.
"Sa, kita enggak pernah tahu apa atau siapa yang lagi nunggu kita." Tiba-tiba Arian ngomong. Aku tak mengerti apa yang baru saja Arian ucapkan, kemudian akupun tersadar bahwa laju motor tengah melambat padahal baru setengah perjalanan. Lalu motorpun berhenti, Arian turun dan sontak aku mengikutinya turun, kemudian dia berbalik tiba-tiba dan menatapku.
"I love you, tapi aku gak bisa." tatapan mata Arian akhirnya bertabrakan dengan tatapanku.
"Hah?" aku masih agak dongo, enggak ngeh maksud dari omongan Arian barusan. Dan belum juga otakku yang beku mencair, aku telah berada di dalam dekapannya. Tanpa berpikir, refleks aku balas memeluknya. Beberapa detik kemudian kudorong Arian ke belakang. Dia segera melepas pelukannya, masih menatapku dan begitupun diriku. "Aku gak ngerti maksud omongan kamu barusan. Kenapa engga bisa?" aku melanjutkan.
"Ya udah.. enggak apa-apa. Lagian aku cuma harus nganter kamu balik ke camp, kan? Kayak yang kamu bilang tadi, kita mesti cepet-cepet balik, kan?" dia malah membuat semua ini semakin menggantung dan ini mengempiskan segala rasa yang baru saja sempat membuncah.
"Kamu bikin aku sedih." tiba-tiba aku menyahut sambil tertunduk.
"Kok?" dia nampak bingung.
Aku kembali menatapnya, lalu maju ke arahnya, kemudian kudaratkan kecupan tepat di bibirnya yang nyaris membeku. Aku segera mundur kembali menatapnya lagi namun tak tersenyum sama sekali.
"Jadi, apapun yang menunggu aku disana, dimanapun.. dan dengan siapapun aku nanti.. saat ini aku sayang banget sama kamu, Arian! Meskipun kamu mematahkan semua perasaan ini sekarang juga hingga harus kita anggap gak pernah ada perasaan kamu buat aku maupun sebaliknya." aku tak sadar apa yang aku ucapkan bahkan beberapa detik kemudian aku nyaris tak mengingat apa yang sudah aku katakan.
"Maksud kamu, apa Sasa?"
Aku tersenyum. "Gantian kamu sekarang yang otaknya beku gara-gara nih malem dingin banget. Dasar dongo!" kemudian aku menariknya ke arah motor yang ternyata terparkir cukup jauh lalu melemparkan kunci motornya pada Arian, dengan cekatan dia menangkap walau mukanya masih diselimuti kebingungan yang sama seperti yang aku rasakan.
 Menit selanjutnya kami pun telah melaju menyelesaikan separuh perjalanan yang tersisa menuju camp tanpa kata dan bahasa tubuh yang berbeda dengan saat kami meninggalkan camp tadi. Aku hanya berharap suatu hari nanti mungkin kami berjodoh.
-selesai-

Original created by Noona Luna (kucingselam)

Kamis

Rintik Banyu (cerita bersambung: Ada yang Datang dan Pergi - part1)

Ada yang Datang dan Pergi
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Kini aku sendiripun tak mengerti bagaimana keadaan hatiku sekarang. Aku seakan berada disebuah jembatan yang tak berpalang hingga aku tak bisa berpegangan untuk sampai keseberang sana. Antara aku ingin memilikinya atau melepaskannya agar bahagia dengan kekasihnya. Bintang itu, gak ganteng sih.. putih juga enggak! Tapi manis, baik.. dan tatapannya itu tajem, dalem.. ya, meskipun jadinya cenderung jutek, tapi aku suka! Aku selalu kehabisan kata-kata setiap kali bertemu pandang dengannya. Apalagi semenjak kelas tiga dan menjadi teman sekelas, aku semakin tahu jeleknya dia di sekolah, tapi perasaan ingin memiliki ini tumbuh semakin besar, tapi dibalik itu perasaan bimbang berkembang tak kalah hebatnya! Inikah cinta? Atau aku salah mengartikannya? Mungkinkah ini hanya obsesi semata yang suatu saat akan hilang ditelan jaman?
“Rin, senyum-senyum sendiri aja iih... hayo!” Cherry menggodaku disela-sela pelajaran Bahasa Indonesia.
“Gak ada apa-apa, kok.”
“Yeee.. tiba-tiba senyum sendiri gitu, masa gak ada apa-apa?”
“Pengen aja senyum senyum.. walaupun sebenernya aku tuh lebih pengen buat nangis!” jawabku merajuk kearahnya.
“Kenapa?”
“Dia tuh udah punya cewek.”
“Siapa, Rin?”
“Binn..tang.. Dan sebenernya aku udah tahu itu dari waktu kita masih kelas dua.”
“Terus?”
“Terus akhirnya aku denger langsung kepastian itu dari mulutnya dia sendiri.”
“Kapan?” tanya Cherry dengan antusias.
“Sabtu.”
“Cieee.. malem Mingguan nih?”
“Ya enggak bisa diitung malem mingguan lah! Masa malem mingguan sama pacar orang?”
“Ya udah, sabar aja ya, Rin?”
“Sip!”
“Tapi kok bisa ngobrol sama dia? Ketemu?”
“Iya, dia jemput. Tapi Cuma jalan-jalan sebagai temen aja kok!” jelasku.
“Ohh..” gumam Cherry pendek sambil berpaling kembali kepekerjaannya.
Pelajaran-pelajaran di sekolah hari ini rasanya memakan waktu yang sangat lama. Dan selalu, seperti biasa.. di sekolah, aku dan Bintang sama sekali gak ngobrol. Lagian kalo dipikir-pikir, mau ngobrol apa coba? Selama mengikuti pelajaran-pelajaran di kelas ipa yang menguras otak hari ini, sekali-sekali aku menengok kearah Bintang, memperhatikan caranya memegang bolpen, caranya membaca buku, caranya bercanda dengan teman-temannya dibarisan paling ujung sana, atau memandangnya yang serius menyalin pr-pr yang belum dia kerjakan. Cukup menyenangkan untuk refreshing yang menyesakkan dada! (Ironis...!)
Tiba-tiba terlintas dipikirku..
“Cherry, bentar lagi bulan Ramadhan lho!”
“Iya ya!”
“Kangen iih sama moment-moment di bulan puasa!” kataku sambil tersenyum.
“Sama.” Sahut Cherry sambil membalas senyumku.
Lalu beberapa saat kemudian aku berhenti berkomentar dan tak bernafsu untuk mengajak ngobrol siapapun. Aku berpaling kearah buku latihanku, melanjutkan beberapa kolom hitungan untuk menyelesaikan tugas yang hampir selesai.
***
Bulan Ramadhan datang! Oh, hatiku sangat senang menyambut semuanya! Akankah ada saat-saat tak terlupakan dengan orang yang tak terpikirkan seperti tahun kemarin? Bila orang yang tak terbayangkan itu hadir pada Ramadhan tahun ini, aku tak akan menyia-nyiakannya seperti aku menyia-nyiakan kakaknya Bintang pada lepas Ramadhan tahun lalu. Tapi tanda-tanda kehadiaran kekasih itu belum juga tampak! Dan kubermohon kepada Allah swt agar orang yang tak aku tahu itu adalah Bintang.
Hari pertama Ramadhan, seharian aku habiskan dirumah. Rencana yang terdekat untuk dilaksanakan adalah melakukan perjalanan diwahana maya, internet. Tapi itu rencana buat besok. Semoga jadi, kan ceritanya cari temen baru sambil cari tugas! Hahaha.. (menyelam sambil minum air gitu maksudnya!)
Selasa, hari kedua dibulan Ramadhan...
To : Tiwi L@
Tiwi, mau ikut aku ke warnet tak?
RepLy..
Tak lama kemudian masuk selayar pesan ke hpku.
From : Tiwi L@
Ayo aja! Klw gtu, ckrg Wii madi dlu iia!
Aku geleng-geleng kepala membaca balasan sms dari sahabatku yang satu ini. Aku menengok jam yang menghiasi dinding kamarku seraya menuliskan pesan balasan.
To : Tiwi L@
giLe,ms ru mandi jm sgnie?
buLan puasa jg ttp mandi tengah hr,tante?hahaha..
Penyakitny muaaLezst mandee sih lo!
Jgn biLg km manasin aer dLu wat mandi ckrg?
Kan udaranya gie panash,tante!hoho
Sambil tersenyum, aku mengirimkannya pada Tiwi.
From : Tiwi L@
Iia,gw manasin aer dlu!
Sabar bu..
Nanti Wii lnsng khostmu dech.!
Segera aku balas pesannya dengan mengetikkan beberapa kata.
To : Tiwi
Sono, mandi CEPETAN!
Jgn ngobroL jha!huhu
Aku segera mengirimkan pesan balasan tadi, setelah aku menerima laporan terkirim, aku beranjak untuk mencatat tugas apa saja yang harus aku kerjakan dan alamat mana saja yang harus aku datangi nanti.
Satu jam kemudian aku mendapati Tiwi dengan motor mionya sudah menunggu didepan rumahku. Hpku terus menerus bergetar, ketika kutengok, ternyata Tiwi yang tak henti-hentinya melakukan panggilan tak terjawab. Aku meminta izin pada mama lalu meluncur ke warnet bersama Tiwi.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Selasa

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - final part)


Original created by Noona Luna (kucingselam)

“Loh, jalannya kok kayak mau ke bukit bintang sih!” gumamku.
“Emang iya kok!” jawab Bintang yang ternyata mendengar ucapanku.
Tak lama kemudian kami sampai di bukit bintang (aku menamainya bukit bintang versi2). Bintang menghentikan laju motornya. Aku pun turun dari motor, diikuti dia yang menstandarkan motornya.
“Cieee, yang sekarang udah tahu bukit bintang mah beda!” celotehku.
“Kamu nih...” sahutnya tersenyum sambil membuka helm fullfacenya. “Bukannya waktu kelas dua kamu pernah nanya soal bukit bintang ke aku?” lanjutnya.
“Iya..”
“Sekarang tahu bukit bintang kan?” selidiknya.
“Yeee... aku udah tahu dari jaman kapan kali. Lagian bukit bintang tuh setahu aku ada 7versi!”
“Wah? Banyak amat?”
“Emang! Dan aku udah tahu dimana yang bener-bener bukit-bintang!”
“Dimana tuh?”
“Ada deh! Cuma aku sama sahabat SMPku aja yang tahu.”
“Sahabat kamu tuh cewek ato cowok?” Bintang mulai menyelidiki lagi.
“Tenang aja. Sahabat aku tuh cewek kok!” jawabku sambil tersenyum dan berpaling dari tatapannya yang tajam seraya memandangi kota bandung  yang mulai diterangi oleh lampu karena langit yang mulai menggelap. “Dan bukit bintang yang asli belum begitu terjamah. Malah mungkin penduduk sekitar juga agak males buat ke tempat itu malem-malem.” Ocehku.
“Kenapa kayak gitu?”
“Soalnya disana kalo siang cuma diterangin sama matahari dan kalo malem Cuma diterangi sama bulan dan bintang-bintang aja.” Aku menjelaskan dengan antusias sambil memandang Bintang yang ternyata sedang memperhatikan aku.
“Emangnya disana belum ada lampu?”
“Kalo di perkampungannya sih ada, tapi lampu jalan dan lampu di bukit bintangnya mah gak ada.”
“Jadi gak kayak di sini?”
“Enggak.” Jawabku singkat. Dan kini timbul keheningan diantara kami.
Semuanya kini terasa aneh! Seperti mimpi, karena dia adalah orang yang aku impikan hingga aku menangis ketika terbangun dan mendapati keindahannya hanya sebatas mimpi! Dan apakah ini mimpi? Ataukah sebuah kenyataan yang benar-benar nyata? Kenyataan yang sesungguhnya... bahwa kini dia ada di sampingku... bahwa bisa saja dia menciumku dengan tiba-tiba! Bahwa mungkin saja tanpa aku tahu dia memelukku atau mengutarakan keinginannya untuk memilikiku! Ahh...aku ini ke-ge-er-an banget sih!
“Gimana kamu sama cewek kamu?” tanyaku tiba-tiba. Entah mengapa, aku juga gak ngerti, kenapa tiba-tiba mulutku mengucapkan kalimat itu? Apa karena aku benar-benar penasaran tentang mereka?
“Hmm... baek-baek aja.”
“Anak mana?”
“Anak SMAN7.” Jawabnya singkat tanpa menunjukkan ekspresi apapun, semua dijawabnya dengan datar. Sungguh membuatku bingung!
“Ehh.. baek-baek aja? Tapi kok?”
“Apa?” kini kedua bola matanya menatapku.
“Kok kamu sekarang ada disini sama aku?”
“Emangnya gak boleh?”
“Boleh aja sih.” Jawabku canggung. Dan dengan penuh perasaan menyesal karena telah bertanya soal hubungannya dengan ceweknya.
“Kamu jomblo kan?”
“Iya. Tapi kamu enggak kan?”
“Iya.. aku enggak jomblo. Bukannya kamu emang tahu itu?” tanya Bintang.
“Aku tahu kok. Tapi apa kamu gak takut aku ganggu hubungan kamu sama cewekmu?”
“We are friend, that’s right?”
“Iya...” sahutku lesu sambil tertunduk sedih mendapati kenyataan bahwa aku ini bukan siapa-siapa baginya, hanya teman, titik. Ternyata dia memang gak pernah ada perasaan apa-apa sama aku.
Beberapa waktu selanjutnya kami habiskan dalam keheningan yang sepi. Aku merasa begitu canggung untuk bertanya-tanya lagi. Uhh.. bodohnya! Kenapa kalimat tadi harus keluar dari mulutku? Aku rasa dia pun tak memiliki topik pembicaraan yang mampu mencairkan suasana saat ini.
***
“Makasih iya, Bintang.” Kataku sambil tersenyum disamping pagar rumahku.
“Rin, tante, Bintang pulang dulu...” Bintang berpamitan kemudian memakai helmnya dan bersiap-siap pulang.
“Hati-hati.” Kata mama.
Bintang mengangguk kemudian meluncur meninggalkan rumahku. Setelah melihat dia menghilang dalam bayang-bayang malam, aku menyusul mama masuk ke dalam rumah. Mencuci muka, menuju kamarku, ganti baju, lalu tidur.
Keesokan harinya, diminggu pagi yang sendu aku terbangun dalam lelehan air mata sisa mimpi tadi malam. Entah apa yang aku impikan? Aku sama sekali tidak ingat. Yang aku ingat kemarin malam aku menikmati keindahan kota Bandung bersama Bintang diatas bukit bintang.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Jumat

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - part2)

Original created by Noona Luna (kucingselam)

Waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Latihan gitar pun selesai. Setelah berpamitan dengan pembimbing dan teman-teman yang lain, aku segera menuju ke halaman depan dan memutuskan untuk langsung pulang. Tapi tiba-tiba hpku berbunyi pertanda ada telepon yang masuk, aku segera meraih hp yang berada di bagian depan tasku dan mengangkatnya.
“Halo?”
“Rin..?”
“Iya, ini siapa iya?” tanyaku bingung karena nomor yang menghubungiku ini sama sekali tak kukenal.
“Ini Bintang, Rin. Maaf iya, tadi siang tiba-tiba putus soalnya habis pulsa...”
“Oh, Bintang. Kirain siapa? Soalnya nomornya gak kenal sih!”
“Rin gini, tadi siang tuh aku mau bilang...”
“...”aku diam dan hanya mendengarkan. Jantungku berdebar begitu kencang! Apakah gerangan yang hendak Bintang sampaikan padaku? Kabar baikkah? Atau justru sebaliknya? Oh, aku tak kuat menahan guncangan yang menyesakkan ini! Lalu aku berusaha menguatkan hati untuk mendengarkan kata-kata selanjutnya yang hendak ia ucapkan.
“Hmm.. ya udahlah. Kamu tunggu aja di sana iya?”
“Loh? Bintang, aku sekarang lagi gak ada di rumah!”
“Iya, Bintang tahu soalnya aku sekarang baru aja keluar dari halaman rumahmu.”
“Hah?” pekikku kaget, aku kira dia mau bilang kalau dia gak bisa ketemu sama aku hari ini.
“Ya udah, pokoknya kamu tunggu aja disitu sampai aku dateng, bentar lagi aku nyampe kok!”
“Emangnya kamu tahu tempatnya?”
“Tahu. Pokoknya tunggu aku iya, Rin?”
“Ok.” Jawabku sambil senyum-senyum sendiri seraya memandangi jalanan yang dipenuhi kendaraan.
***
“Rin!” tiba-tiba aku dengar suara yang terdengar familiar di telingaku.
“Ehh..” aku berbalik menghadap ketempat sumber suara tadi berasal.
“Baru selesai latihannya?”
“Enggak. Udah dari tadi sih.”
“Kok belum pulang? Dijemput gak? Aku anterin yuk?”
“Gak usah... yang jemput udah berangkat soalnya.” Jawabku sambil mengalihkan pandanganku kembali ke jalanan. “Kamu ngapain disini? Mau malem mingguan iya?” tanyaku menggodanya.
“Haha, malem mingguan sama siapa?”
“Pacarmu!”
“Kamu mau jadi pacar aku?” tanyanya.
“Hah? Canda? Jauh-jauh buat becandain orang doang, ya?” tanyaku dengan mata terbelalak menatapnya dengan wajahku yang berhiaskan senyum heran.
“Serius!” jawabnya mencoba meraih tanganku yang tak sempat aku tarik. “Aku tahu kita udah lama banget gak ketemu. Hmmm... mungkin ada setahun! Tapi itu gak bikin aku nyerah untuk dapetin kamu! Waktu aku tahu sepupu aku gak jadi nembak kamu karena dia minder, itu juga gak bikin aku ciut!”
“Terrrus?” selidikku sambil menarik tanganku.
“Iya, kamu mau gak jadi cewek aku?”
“Ril..kamu tuh? Salah minum obat ato kenapa?” tanyaku heran sambil menaikkan alis mataku.
“Rin.. aku tahu aku gak ganteng-ganteng amat. Tapi..”
“Aku gak butuh yang ganteng banget kok! Cukup enak dipandang! hehe...” ocehku sambil tersenyum kagum.
“Jadi?”
“Tapi dihatiku udah ada orang yang berarti banget buat aku dan sayangnya itu bukan kamu! Maaf?”
“Cowok kamu, Rin?” tanya pemuda itu miris.
“Aku lagi jomblo kali..!” sambarku cepat.
“Nah?”
“Tapi aku gak mau nyakitin kamu dengan nerima kamu, boongin perasaan aku, dan itu pasti sama aja sama ngebohongin kamu! Mending kita temenan aja kayak kemaren-kemaren?” kataku sambil kembali mengembangkan senyum mautku pada kalimat terakhir.
“Teeet...teeet...” suara klakson membuatku berpaling dari Aril dan memandang ke pinggir jalan.
“Bintang!” panggilku pada seseorang dengan sosok yang aku kenal sebagai Bintang, tampaknya sosok itu juga telah menemukan keberadaanku.
Ternyata dugaanku benar. Itu memang Bintang! Wah, kalau salah, pasti aku malu banget! Bintang membalas panggilanku dengan lambaian tangannya.
Aku segera pamit pada Aril yang sejak tadi mengobrol denganku.
“Banyak yang lebih baik dari Rintik, kok!” kataku kemudian aku berlari kecil ketempat Bintang dan motornya menungguku. Aku melambaikan tangan pada Aril yang kini raut wajahnya nampak bagitu pilu.
Aku segara naik keatas motor Bintang dan kami pun segera melesat ditengah hiruk pikuknya kendaraan di sabtu petang yang cerah ini.
***
“Hmmm.. gak apa-apakan kalo kamu pulangnya agak malem?” tanya Bintang tiba-tiba ketika kami tengah menunggu lampu lalulintas berubah warna menjadi hijau.
“Hah? Aku belom bilang sama ortu..!” sanggahku kaget.
“Tapi Bintang udah bilang kok!”
“Oh ya?”
“Coba aja telepon sekarang!” ujar Bintang.
“Aku gak punya pulsa telepon.... hehe...” Kataku tersipu.
“Nih, telepon gih.” Sahut Bintang sambil mengeluarkan hp dari dalam saku celananya seraya memberikannya padaku.
Ketika telepon genggamnya telah berada ditanganku dan lampu lalulintas belum juga menampakkan nyalanya yang berwarna hijau, aku segera memencet nomor telepon rumahku dan tanpa menunggu lama, mama yang berada di rumah segera mengangkat telepon dariku.
“Ma, teteh sama Bintang.”
“Oh, iya. Nanti pulangnya jangan terlalu malem ya! Tapi kalo sekarang mau jalan-jalan dulu, boleh kok! Bintang udah izin ke mama tadi.” Kata mama.
“Oh gitu iya, Ma? Ya udah.. dadah.. assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab mama sambil menutup telpon tepat ketika Bintang mulai memutar gas yang membuatku sedikit terlonjak kebelakang. Kontan kami tertawa dalam terpaan angin senja.
Langit sore ini begitu jingga kemerahan. Suasana begitu hangat, padahal kami berpacu dalam kecepatan tinggi, melawan terpaan angin senja yang dingin.
“Bintang, kita mau kemana?” tanyaku tiba-tiba.
“Apaaaa...?” Bintang balik bertanya. Sepertinya deru angin membuat suaraku tidak terdengar jelas.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku dan kini dengan setengah berteriak.
“Kalem neng. Kita mau ke.. ikut ajalah..! pasti dianterin pulang kok!” jawabnya sambil berbelok.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Selasa

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - part1)

Sebelum Dimulai
Original created by Noona Luna (kucingselam) 

“Rin..” suara Mama tiba-tiba terdengar begitu jelas.
“Mama..” sahutku sambil membuka mata.
“Kok kamu nangis, Rin?” tanya Mama.
“Enggak apa-apa kok, cuma.. kayaknya barusan aku mimpi sedih banget, Ma.. untung cuma mimpi..” jawabku sambil mengusap pipiku yang ternyata benar-benar basah oleh air mataku.
“Ya udah, cepet bangun gih. Minum dulu terus angkat telponnya tuh.”
“Emangnya ada telepon dari siapa, Ma?”
“Bintang...”
“Alhamdulillah...” gumamku, seraya menuju telpon yang tergeletak.
“Minum dulu, Rin!” Mama mengingatkan.
“Iya, nanti Ma.” Jawabku sambil mengangkat telepon. “Halo?” kataku kepada orang di ujung sana sambil menempelkan telepon tersebut ke telingaku.
“Assalamualaikum, Rin?”
“Iya, waalaikumsalam.”
“Maaf masih siang gini Bintang udah nelpon kamu?”
“Gak apa-apa kok, Nyu.” Jawabku sambil tersenyum, tak sepenuhnya hatiku merasa senang mendengar suaranya. Ada ketakutan yang berlebihan menghantui pikiranku. Aku takut mendengar kata-kata Bintang selanjutnya yang mungkin saja berisi permohonan maafnya karena dia tidak jadi kerumahku nanti malam. “Ada apa, Nyu?” lanjutku pelan-pelan.
“Enggak ada apa-apa sih..” jawab Bintang. “Cuma...”
“Iya... Cuma apa?” tanyaku dengan jantung yang berdegup kencang, tak tenang.
“Hmmm... gimana ya ngomongnya?” ucap Bintang. Dan kalimatnya yang dari tadi belum selesai itu semakin membuat hatiku gamang.
“Kenapa? Emangnya ada apa?” tanyaku penasaran. “Hmmm...  kamu gak jadi dateng nanti malem?” lanjutku dengan hati yang mulai meretak dan air mata yang mulai menggenang.
“Eeeh...” jawabnya terutus.”Yah...”
“Nuut-nuut-nuut...” dan tiba-tiba terputus.
“Kok mati sih?” gumamku putus asa. Kupandangi gagang telepon di genggamanku untuk beberapa saat kemudian aku taruh kembali ke tempatnya.
“Rin, latihan gitar jam berapa?” tanya Mama setelah gagang telepon kembali pada tempatnya.
“Jam tiga.” Jawabku lesu sambil memalingkan tatapanku dari telepon menuju ke jam dinding diseberang ruangan.
Sekarang jam masih menunjukkan pukul dua siang. Aku segera menuju ruang makan untuk selanjutnya makan siang sendirian karena yang lainnya sudah makan tadi ketika aku tidur. Lalu setelah selesai makan aku menuju kamarku, memangku gitar, memetik-metiknya dengan sendu, dan menyenandungkan beberapa kalimat yang kemudian menginspirasiku untuk merekamnya dan menuliskannya sebagai salah satu lagu baruku.
“Hmm...segini aja dulu deh..” gumamku, sambil munutup bolpen dengan tutupnya yang dari tadi kuapit dengan ujung bibir. Rasa yang aneh, begitu menyesakkan dada, ditambah lagi prasangka yang mulai merasuki pikiranku. Aku segera menyelipkan lirik lagu tadi disela-sela buku lagu-lagu khusus ciptaanku kemudian aku segera menyambar map bening yang berisi partitur lagu-lagu untuk gitar klasik yang harus aku bawa ke tempat latihan gitar sore ini.
Untuk hari ini aku memutuskan untuk pergi naik angkot. Sekali-kali aku ingin merasakan lagi kemacetan kota dari dalam angkutan umum. Ada sesuatu yang menarik rasanya,  meskipun dengan naik angkot itu berarti aku tak bisa mengatur waktu kedatanganku karena angkot sulit sekali diprediksi waktu perjalanannya.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Minggu

Rintik Banyu (cerita bersambung: Kamu Selalu Kutunggu - final part)

Original created by Noona Luna (kucingselam)

“Sabtu pagi yang indah...” gumamku ketika kutatap langit dan jalan bercabang yang dapat jelas terlihat dari jendela kamarku yang berada di lantai dua ini. Teringat sesuatu yang masih begitu lekat dalam ingatanku bahwa hari ini Bintang akan datang. “Tapi masih nanti malem, Rin!” gumamku lagi pada bayanganku yang terpantul oleh jendela kamar yang kubuka. Pikiran-pikiran lain mulai merasuki otakku.. aku berpikir lagi, ‘apa dia serius dengan ucapannya tempo hari padaku? Atau malah nanti sore tiba-tiba dia menelponku dan meminta maaf karena dia ada urusan lain...urusan keluarga mungkin.’ Oh..pikiran-pikiran itu terus menghantuiku. Kemudian aku melihat seekor burung kecil melintas lalu bertengger di ranting pohon sebelah jendela kamarku dan mulai berkicau riang. “Burung kecil, tahukah kau? Aku siap-siap dari pagi buta, bangun dinihari untuk solat tahajud, kemudian tak bisa tertidur lagi, lalu mendengarkan musik hingga subuh, solat, lalu mandi. Seakan-akan Bintang akan memberi kejutan dengan datang pagi-pagi kerumahku. Padahal sudah jelas dia berjanji baru akan datang nanti malam. Betapa tak sabarnya aku, ya burung kecil?” selesai menggumamkan kegundahan hatiku itu, aku hanya mendengar kicauan burung kecil tadi sebagai jawaban dan sesaat kemudian dia terbang tinggi ke langit biru di hadapanku yang membentang luas. Tiba-tiba angin semilir melewati rambut panjangku yang sedikit lembab sisa cuci rambut tadi subuh, dan entah mengapa mataku kini menjadi amat berat. Angin sepoi yang segar berselimut sinar mentari pagi yang hangat, membuatku menguap beberapa kali dan memaksaku berbaring diatas tempat tidur kemudian terlelap dibawah tempaan sinar yang meninakbobokan aku di pagi ini.
***
“Rin, kamu dicariin sama Bintang.” Kata seorang cewek yang enggak aku tahu siapa namanya.
“Bintang-nya dimana sekarang?” tanyaku pada cewek itu.
“Tadi sih ada di seberang sekolah.” Jawabnya, lalu dengan cepat aku berlari menuju gerbang sekolah dan aku dapati sosok Bintang disebrang jalan.
Diseberang sana kudapati Bintang sedang berbicara dengan seorang cewek, sepertinya seumuran dengan kami. Aku terdiam memperhatikannya, tiba-tiba cewek itu memalingkan wajahnya dari Bintang, cewek putih itu hendak menyebrang meninggalkan Bintang yang berusaha meraih tangan putihnya untuk menghentikannya. Tak pernah aku melihat wajah Bintang seserius itu dan yang membuat aku begitu berguncang adalah, tatapannya kepada cewek itu.. syarat akan tatapan penuh cinta.
Ternyata Bintang tak bisa menangkap lengan cewek itu, dan aku hanya terdiam disini menyaksikan sesuatu yang tak pernah aku kira. Bintang mengejar cewek yang sama sekali belum pernah aku lihat.
“Apa itu ceweknya Bintang yang dulu pernah Bintang bilang ke aku?” tanyaku dalam hati.
Cewek itu dengan berlari dengan licah, melewatiku, namun tiba-tiba..
“Ckiiiit.... braakk” sebuah mobil yang melaju kencang menabrak seseorang yang tengah berlari dari sebrang sana.
“Bintanggg...!” jeritku kencang hingga membuat semua anak-anak yang berkumpul didepan warung yang berada didepan sekolah gempar dan berlarian menuju kearah tkp, seketika itu aku segera berlari kearah Bintang yang tergeletak didepan mobil yang telah menghentikan lajunya. Tak terasa airmata mengalir dengan sangat deras membasahi seluruh wajahku. Aku melihat banyak darah mengucur keluar dari pelipis, tangan dan kaki Bintang yang terluka. “Please, Bintang jangan mati dulu.” Pekikku dengan suara yang tercekat.
“De, temennya dibawa kerumah sakit aja sekarang. Pake mobil saya. Ayo!” Kata lelaki berpakaian rapi yang turun dari mobil yang telah menabrak Bintang tadi.
Anak-anak genk depan sekolah segera membantu mengangkat Bintang kedalam mobil. Akupun ikut naik ke mobil tersebut dan menekan pelipis Bintang yang terluka agar darah yang keluar tidak sebanyak tadi. Didalam mobil aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir dari mataku. Aku pandangi Bintang yang kepalanya berada dipangkuanku, aku tak peduli lagi meski noda darahnya ini tak bisa hilang dari seragamku, yang aku pikirkan sekarang hanyalah keselamatannya. Aku hanya ingin melihatnya kembali tersenyum meski senyum itu bukan untukku.
Tiba juga aku di rumah sakit terdekat, R.S.Boromeus. Kemudian dengan segera, beberapa perawat membawanya ke ruang UGD. Aku mengikutinya hingga terhenti sampai didepan pintu bertuliskan UGD karena tidak seorang suster atau perawatpun yang memperbolehkan aku menemani Bintang didalam. Dengan pasrah dan perasaan yang berkecamuk, aku berjalan gontai, dan tak menyadari tubuhku yang melemas telah menabrak dinding rumah sakit disampingku, lalu terduduk lemas dilantai rumah sakit.
“Rin, ayo jangan duduk di sini, ya?” Sebentuk jemari tiba-tiba menggenggam tanganku dan menuntunku untuk duduk di kursi-kursi rumah sakit yang berjajar enam-enam.
“Alan, kok ada disini?” tanyaku ketika menyadari Alan-lah yang membawaku ke kursi ini dalam keadaanku yang kacau.
“Tadi Alan nyusul pake motor. Gak mungkin aku ngebiarin temen aku luka parah dan gak jelas kabarnya. Aku kira, kamu cuma bakal nganterin Bintang sampe dia masuk UGD aja...”
“Aku gak mungkin ninggalin Bintang sendirian, Lan. Apalagi dalam keadaan kayak gini!”
“Oiya, Alan harusnya tahu itu!” gumamnya menunduk.
“....mmmmmhhikss...hikssss...” aku tak bisa lagi menahan isak yang kutahan dari tadi.
“Udah dong, Rin! Jangan nangis, ya?” pinta Alan sambil menghapus air mataku yang terus mengucur.
“Lan, aku gak...hikss..hiks.. gak mau terjadi yang enggak-enggak sama Binn...hikss..tang... Aku g...hiks-hiks..g..gak mau kalo nantinya aku gak bisa hikss.. ngeliat Bintang lagiiiii!” isakku sendu. Dan Alan membiarkan aku bersandar lemah dipundaknya perlahan aku rasakan rangkulan tangannya ia lingkarkan kepundakku kemudian dia mulai mengusap-usap kepalaku, dia berusaha menenangkan aku yang kini menggigil karena tak henti-hentinya menangis.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)