Selasa

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - final part)


Original created by Noona Luna (kucingselam)

“Loh, jalannya kok kayak mau ke bukit bintang sih!” gumamku.
“Emang iya kok!” jawab Bintang yang ternyata mendengar ucapanku.
Tak lama kemudian kami sampai di bukit bintang (aku menamainya bukit bintang versi2). Bintang menghentikan laju motornya. Aku pun turun dari motor, diikuti dia yang menstandarkan motornya.
“Cieee, yang sekarang udah tahu bukit bintang mah beda!” celotehku.
“Kamu nih...” sahutnya tersenyum sambil membuka helm fullfacenya. “Bukannya waktu kelas dua kamu pernah nanya soal bukit bintang ke aku?” lanjutnya.
“Iya..”
“Sekarang tahu bukit bintang kan?” selidiknya.
“Yeee... aku udah tahu dari jaman kapan kali. Lagian bukit bintang tuh setahu aku ada 7versi!”
“Wah? Banyak amat?”
“Emang! Dan aku udah tahu dimana yang bener-bener bukit-bintang!”
“Dimana tuh?”
“Ada deh! Cuma aku sama sahabat SMPku aja yang tahu.”
“Sahabat kamu tuh cewek ato cowok?” Bintang mulai menyelidiki lagi.
“Tenang aja. Sahabat aku tuh cewek kok!” jawabku sambil tersenyum dan berpaling dari tatapannya yang tajam seraya memandangi kota bandung  yang mulai diterangi oleh lampu karena langit yang mulai menggelap. “Dan bukit bintang yang asli belum begitu terjamah. Malah mungkin penduduk sekitar juga agak males buat ke tempat itu malem-malem.” Ocehku.
“Kenapa kayak gitu?”
“Soalnya disana kalo siang cuma diterangin sama matahari dan kalo malem Cuma diterangi sama bulan dan bintang-bintang aja.” Aku menjelaskan dengan antusias sambil memandang Bintang yang ternyata sedang memperhatikan aku.
“Emangnya disana belum ada lampu?”
“Kalo di perkampungannya sih ada, tapi lampu jalan dan lampu di bukit bintangnya mah gak ada.”
“Jadi gak kayak di sini?”
“Enggak.” Jawabku singkat. Dan kini timbul keheningan diantara kami.
Semuanya kini terasa aneh! Seperti mimpi, karena dia adalah orang yang aku impikan hingga aku menangis ketika terbangun dan mendapati keindahannya hanya sebatas mimpi! Dan apakah ini mimpi? Ataukah sebuah kenyataan yang benar-benar nyata? Kenyataan yang sesungguhnya... bahwa kini dia ada di sampingku... bahwa bisa saja dia menciumku dengan tiba-tiba! Bahwa mungkin saja tanpa aku tahu dia memelukku atau mengutarakan keinginannya untuk memilikiku! Ahh...aku ini ke-ge-er-an banget sih!
“Gimana kamu sama cewek kamu?” tanyaku tiba-tiba. Entah mengapa, aku juga gak ngerti, kenapa tiba-tiba mulutku mengucapkan kalimat itu? Apa karena aku benar-benar penasaran tentang mereka?
“Hmm... baek-baek aja.”
“Anak mana?”
“Anak SMAN7.” Jawabnya singkat tanpa menunjukkan ekspresi apapun, semua dijawabnya dengan datar. Sungguh membuatku bingung!
“Ehh.. baek-baek aja? Tapi kok?”
“Apa?” kini kedua bola matanya menatapku.
“Kok kamu sekarang ada disini sama aku?”
“Emangnya gak boleh?”
“Boleh aja sih.” Jawabku canggung. Dan dengan penuh perasaan menyesal karena telah bertanya soal hubungannya dengan ceweknya.
“Kamu jomblo kan?”
“Iya. Tapi kamu enggak kan?”
“Iya.. aku enggak jomblo. Bukannya kamu emang tahu itu?” tanya Bintang.
“Aku tahu kok. Tapi apa kamu gak takut aku ganggu hubungan kamu sama cewekmu?”
“We are friend, that’s right?”
“Iya...” sahutku lesu sambil tertunduk sedih mendapati kenyataan bahwa aku ini bukan siapa-siapa baginya, hanya teman, titik. Ternyata dia memang gak pernah ada perasaan apa-apa sama aku.
Beberapa waktu selanjutnya kami habiskan dalam keheningan yang sepi. Aku merasa begitu canggung untuk bertanya-tanya lagi. Uhh.. bodohnya! Kenapa kalimat tadi harus keluar dari mulutku? Aku rasa dia pun tak memiliki topik pembicaraan yang mampu mencairkan suasana saat ini.
***
“Makasih iya, Bintang.” Kataku sambil tersenyum disamping pagar rumahku.
“Rin, tante, Bintang pulang dulu...” Bintang berpamitan kemudian memakai helmnya dan bersiap-siap pulang.
“Hati-hati.” Kata mama.
Bintang mengangguk kemudian meluncur meninggalkan rumahku. Setelah melihat dia menghilang dalam bayang-bayang malam, aku menyusul mama masuk ke dalam rumah. Mencuci muka, menuju kamarku, ganti baju, lalu tidur.
Keesokan harinya, diminggu pagi yang sendu aku terbangun dalam lelehan air mata sisa mimpi tadi malam. Entah apa yang aku impikan? Aku sama sekali tidak ingat. Yang aku ingat kemarin malam aku menikmati keindahan kota Bandung bersama Bintang diatas bukit bintang.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Jumat

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - part2)

Original created by Noona Luna (kucingselam)

Waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Latihan gitar pun selesai. Setelah berpamitan dengan pembimbing dan teman-teman yang lain, aku segera menuju ke halaman depan dan memutuskan untuk langsung pulang. Tapi tiba-tiba hpku berbunyi pertanda ada telepon yang masuk, aku segera meraih hp yang berada di bagian depan tasku dan mengangkatnya.
“Halo?”
“Rin..?”
“Iya, ini siapa iya?” tanyaku bingung karena nomor yang menghubungiku ini sama sekali tak kukenal.
“Ini Bintang, Rin. Maaf iya, tadi siang tiba-tiba putus soalnya habis pulsa...”
“Oh, Bintang. Kirain siapa? Soalnya nomornya gak kenal sih!”
“Rin gini, tadi siang tuh aku mau bilang...”
“...”aku diam dan hanya mendengarkan. Jantungku berdebar begitu kencang! Apakah gerangan yang hendak Bintang sampaikan padaku? Kabar baikkah? Atau justru sebaliknya? Oh, aku tak kuat menahan guncangan yang menyesakkan ini! Lalu aku berusaha menguatkan hati untuk mendengarkan kata-kata selanjutnya yang hendak ia ucapkan.
“Hmm.. ya udahlah. Kamu tunggu aja di sana iya?”
“Loh? Bintang, aku sekarang lagi gak ada di rumah!”
“Iya, Bintang tahu soalnya aku sekarang baru aja keluar dari halaman rumahmu.”
“Hah?” pekikku kaget, aku kira dia mau bilang kalau dia gak bisa ketemu sama aku hari ini.
“Ya udah, pokoknya kamu tunggu aja disitu sampai aku dateng, bentar lagi aku nyampe kok!”
“Emangnya kamu tahu tempatnya?”
“Tahu. Pokoknya tunggu aku iya, Rin?”
“Ok.” Jawabku sambil senyum-senyum sendiri seraya memandangi jalanan yang dipenuhi kendaraan.
***
“Rin!” tiba-tiba aku dengar suara yang terdengar familiar di telingaku.
“Ehh..” aku berbalik menghadap ketempat sumber suara tadi berasal.
“Baru selesai latihannya?”
“Enggak. Udah dari tadi sih.”
“Kok belum pulang? Dijemput gak? Aku anterin yuk?”
“Gak usah... yang jemput udah berangkat soalnya.” Jawabku sambil mengalihkan pandanganku kembali ke jalanan. “Kamu ngapain disini? Mau malem mingguan iya?” tanyaku menggodanya.
“Haha, malem mingguan sama siapa?”
“Pacarmu!”
“Kamu mau jadi pacar aku?” tanyanya.
“Hah? Canda? Jauh-jauh buat becandain orang doang, ya?” tanyaku dengan mata terbelalak menatapnya dengan wajahku yang berhiaskan senyum heran.
“Serius!” jawabnya mencoba meraih tanganku yang tak sempat aku tarik. “Aku tahu kita udah lama banget gak ketemu. Hmmm... mungkin ada setahun! Tapi itu gak bikin aku nyerah untuk dapetin kamu! Waktu aku tahu sepupu aku gak jadi nembak kamu karena dia minder, itu juga gak bikin aku ciut!”
“Terrrus?” selidikku sambil menarik tanganku.
“Iya, kamu mau gak jadi cewek aku?”
“Ril..kamu tuh? Salah minum obat ato kenapa?” tanyaku heran sambil menaikkan alis mataku.
“Rin.. aku tahu aku gak ganteng-ganteng amat. Tapi..”
“Aku gak butuh yang ganteng banget kok! Cukup enak dipandang! hehe...” ocehku sambil tersenyum kagum.
“Jadi?”
“Tapi dihatiku udah ada orang yang berarti banget buat aku dan sayangnya itu bukan kamu! Maaf?”
“Cowok kamu, Rin?” tanya pemuda itu miris.
“Aku lagi jomblo kali..!” sambarku cepat.
“Nah?”
“Tapi aku gak mau nyakitin kamu dengan nerima kamu, boongin perasaan aku, dan itu pasti sama aja sama ngebohongin kamu! Mending kita temenan aja kayak kemaren-kemaren?” kataku sambil kembali mengembangkan senyum mautku pada kalimat terakhir.
“Teeet...teeet...” suara klakson membuatku berpaling dari Aril dan memandang ke pinggir jalan.
“Bintang!” panggilku pada seseorang dengan sosok yang aku kenal sebagai Bintang, tampaknya sosok itu juga telah menemukan keberadaanku.
Ternyata dugaanku benar. Itu memang Bintang! Wah, kalau salah, pasti aku malu banget! Bintang membalas panggilanku dengan lambaian tangannya.
Aku segera pamit pada Aril yang sejak tadi mengobrol denganku.
“Banyak yang lebih baik dari Rintik, kok!” kataku kemudian aku berlari kecil ketempat Bintang dan motornya menungguku. Aku melambaikan tangan pada Aril yang kini raut wajahnya nampak bagitu pilu.
Aku segara naik keatas motor Bintang dan kami pun segera melesat ditengah hiruk pikuknya kendaraan di sabtu petang yang cerah ini.
***
“Hmmm.. gak apa-apakan kalo kamu pulangnya agak malem?” tanya Bintang tiba-tiba ketika kami tengah menunggu lampu lalulintas berubah warna menjadi hijau.
“Hah? Aku belom bilang sama ortu..!” sanggahku kaget.
“Tapi Bintang udah bilang kok!”
“Oh ya?”
“Coba aja telepon sekarang!” ujar Bintang.
“Aku gak punya pulsa telepon.... hehe...” Kataku tersipu.
“Nih, telepon gih.” Sahut Bintang sambil mengeluarkan hp dari dalam saku celananya seraya memberikannya padaku.
Ketika telepon genggamnya telah berada ditanganku dan lampu lalulintas belum juga menampakkan nyalanya yang berwarna hijau, aku segera memencet nomor telepon rumahku dan tanpa menunggu lama, mama yang berada di rumah segera mengangkat telepon dariku.
“Ma, teteh sama Bintang.”
“Oh, iya. Nanti pulangnya jangan terlalu malem ya! Tapi kalo sekarang mau jalan-jalan dulu, boleh kok! Bintang udah izin ke mama tadi.” Kata mama.
“Oh gitu iya, Ma? Ya udah.. dadah.. assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab mama sambil menutup telpon tepat ketika Bintang mulai memutar gas yang membuatku sedikit terlonjak kebelakang. Kontan kami tertawa dalam terpaan angin senja.
Langit sore ini begitu jingga kemerahan. Suasana begitu hangat, padahal kami berpacu dalam kecepatan tinggi, melawan terpaan angin senja yang dingin.
“Bintang, kita mau kemana?” tanyaku tiba-tiba.
“Apaaaa...?” Bintang balik bertanya. Sepertinya deru angin membuat suaraku tidak terdengar jelas.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku dan kini dengan setengah berteriak.
“Kalem neng. Kita mau ke.. ikut ajalah..! pasti dianterin pulang kok!” jawabnya sambil berbelok.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Selasa

Rintik Banyu (cerita bersambung: Sebelum Dimulai - part1)

Sebelum Dimulai
Original created by Noona Luna (kucingselam) 

“Rin..” suara Mama tiba-tiba terdengar begitu jelas.
“Mama..” sahutku sambil membuka mata.
“Kok kamu nangis, Rin?” tanya Mama.
“Enggak apa-apa kok, cuma.. kayaknya barusan aku mimpi sedih banget, Ma.. untung cuma mimpi..” jawabku sambil mengusap pipiku yang ternyata benar-benar basah oleh air mataku.
“Ya udah, cepet bangun gih. Minum dulu terus angkat telponnya tuh.”
“Emangnya ada telepon dari siapa, Ma?”
“Bintang...”
“Alhamdulillah...” gumamku, seraya menuju telpon yang tergeletak.
“Minum dulu, Rin!” Mama mengingatkan.
“Iya, nanti Ma.” Jawabku sambil mengangkat telepon. “Halo?” kataku kepada orang di ujung sana sambil menempelkan telepon tersebut ke telingaku.
“Assalamualaikum, Rin?”
“Iya, waalaikumsalam.”
“Maaf masih siang gini Bintang udah nelpon kamu?”
“Gak apa-apa kok, Nyu.” Jawabku sambil tersenyum, tak sepenuhnya hatiku merasa senang mendengar suaranya. Ada ketakutan yang berlebihan menghantui pikiranku. Aku takut mendengar kata-kata Bintang selanjutnya yang mungkin saja berisi permohonan maafnya karena dia tidak jadi kerumahku nanti malam. “Ada apa, Nyu?” lanjutku pelan-pelan.
“Enggak ada apa-apa sih..” jawab Bintang. “Cuma...”
“Iya... Cuma apa?” tanyaku dengan jantung yang berdegup kencang, tak tenang.
“Hmmm... gimana ya ngomongnya?” ucap Bintang. Dan kalimatnya yang dari tadi belum selesai itu semakin membuat hatiku gamang.
“Kenapa? Emangnya ada apa?” tanyaku penasaran. “Hmmm...  kamu gak jadi dateng nanti malem?” lanjutku dengan hati yang mulai meretak dan air mata yang mulai menggenang.
“Eeeh...” jawabnya terutus.”Yah...”
“Nuut-nuut-nuut...” dan tiba-tiba terputus.
“Kok mati sih?” gumamku putus asa. Kupandangi gagang telepon di genggamanku untuk beberapa saat kemudian aku taruh kembali ke tempatnya.
“Rin, latihan gitar jam berapa?” tanya Mama setelah gagang telepon kembali pada tempatnya.
“Jam tiga.” Jawabku lesu sambil memalingkan tatapanku dari telepon menuju ke jam dinding diseberang ruangan.
Sekarang jam masih menunjukkan pukul dua siang. Aku segera menuju ruang makan untuk selanjutnya makan siang sendirian karena yang lainnya sudah makan tadi ketika aku tidur. Lalu setelah selesai makan aku menuju kamarku, memangku gitar, memetik-metiknya dengan sendu, dan menyenandungkan beberapa kalimat yang kemudian menginspirasiku untuk merekamnya dan menuliskannya sebagai salah satu lagu baruku.
“Hmm...segini aja dulu deh..” gumamku, sambil munutup bolpen dengan tutupnya yang dari tadi kuapit dengan ujung bibir. Rasa yang aneh, begitu menyesakkan dada, ditambah lagi prasangka yang mulai merasuki pikiranku. Aku segera menyelipkan lirik lagu tadi disela-sela buku lagu-lagu khusus ciptaanku kemudian aku segera menyambar map bening yang berisi partitur lagu-lagu untuk gitar klasik yang harus aku bawa ke tempat latihan gitar sore ini.
Untuk hari ini aku memutuskan untuk pergi naik angkot. Sekali-kali aku ingin merasakan lagi kemacetan kota dari dalam angkutan umum. Ada sesuatu yang menarik rasanya,  meskipun dengan naik angkot itu berarti aku tak bisa mengatur waktu kedatanganku karena angkot sulit sekali diprediksi waktu perjalanannya.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Minggu

Rintik Banyu (cerita bersambung: Kamu Selalu Kutunggu - final part)

Original created by Noona Luna (kucingselam)

“Sabtu pagi yang indah...” gumamku ketika kutatap langit dan jalan bercabang yang dapat jelas terlihat dari jendela kamarku yang berada di lantai dua ini. Teringat sesuatu yang masih begitu lekat dalam ingatanku bahwa hari ini Bintang akan datang. “Tapi masih nanti malem, Rin!” gumamku lagi pada bayanganku yang terpantul oleh jendela kamar yang kubuka. Pikiran-pikiran lain mulai merasuki otakku.. aku berpikir lagi, ‘apa dia serius dengan ucapannya tempo hari padaku? Atau malah nanti sore tiba-tiba dia menelponku dan meminta maaf karena dia ada urusan lain...urusan keluarga mungkin.’ Oh..pikiran-pikiran itu terus menghantuiku. Kemudian aku melihat seekor burung kecil melintas lalu bertengger di ranting pohon sebelah jendela kamarku dan mulai berkicau riang. “Burung kecil, tahukah kau? Aku siap-siap dari pagi buta, bangun dinihari untuk solat tahajud, kemudian tak bisa tertidur lagi, lalu mendengarkan musik hingga subuh, solat, lalu mandi. Seakan-akan Bintang akan memberi kejutan dengan datang pagi-pagi kerumahku. Padahal sudah jelas dia berjanji baru akan datang nanti malam. Betapa tak sabarnya aku, ya burung kecil?” selesai menggumamkan kegundahan hatiku itu, aku hanya mendengar kicauan burung kecil tadi sebagai jawaban dan sesaat kemudian dia terbang tinggi ke langit biru di hadapanku yang membentang luas. Tiba-tiba angin semilir melewati rambut panjangku yang sedikit lembab sisa cuci rambut tadi subuh, dan entah mengapa mataku kini menjadi amat berat. Angin sepoi yang segar berselimut sinar mentari pagi yang hangat, membuatku menguap beberapa kali dan memaksaku berbaring diatas tempat tidur kemudian terlelap dibawah tempaan sinar yang meninakbobokan aku di pagi ini.
***
“Rin, kamu dicariin sama Bintang.” Kata seorang cewek yang enggak aku tahu siapa namanya.
“Bintang-nya dimana sekarang?” tanyaku pada cewek itu.
“Tadi sih ada di seberang sekolah.” Jawabnya, lalu dengan cepat aku berlari menuju gerbang sekolah dan aku dapati sosok Bintang disebrang jalan.
Diseberang sana kudapati Bintang sedang berbicara dengan seorang cewek, sepertinya seumuran dengan kami. Aku terdiam memperhatikannya, tiba-tiba cewek itu memalingkan wajahnya dari Bintang, cewek putih itu hendak menyebrang meninggalkan Bintang yang berusaha meraih tangan putihnya untuk menghentikannya. Tak pernah aku melihat wajah Bintang seserius itu dan yang membuat aku begitu berguncang adalah, tatapannya kepada cewek itu.. syarat akan tatapan penuh cinta.
Ternyata Bintang tak bisa menangkap lengan cewek itu, dan aku hanya terdiam disini menyaksikan sesuatu yang tak pernah aku kira. Bintang mengejar cewek yang sama sekali belum pernah aku lihat.
“Apa itu ceweknya Bintang yang dulu pernah Bintang bilang ke aku?” tanyaku dalam hati.
Cewek itu dengan berlari dengan licah, melewatiku, namun tiba-tiba..
“Ckiiiit.... braakk” sebuah mobil yang melaju kencang menabrak seseorang yang tengah berlari dari sebrang sana.
“Bintanggg...!” jeritku kencang hingga membuat semua anak-anak yang berkumpul didepan warung yang berada didepan sekolah gempar dan berlarian menuju kearah tkp, seketika itu aku segera berlari kearah Bintang yang tergeletak didepan mobil yang telah menghentikan lajunya. Tak terasa airmata mengalir dengan sangat deras membasahi seluruh wajahku. Aku melihat banyak darah mengucur keluar dari pelipis, tangan dan kaki Bintang yang terluka. “Please, Bintang jangan mati dulu.” Pekikku dengan suara yang tercekat.
“De, temennya dibawa kerumah sakit aja sekarang. Pake mobil saya. Ayo!” Kata lelaki berpakaian rapi yang turun dari mobil yang telah menabrak Bintang tadi.
Anak-anak genk depan sekolah segera membantu mengangkat Bintang kedalam mobil. Akupun ikut naik ke mobil tersebut dan menekan pelipis Bintang yang terluka agar darah yang keluar tidak sebanyak tadi. Didalam mobil aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir dari mataku. Aku pandangi Bintang yang kepalanya berada dipangkuanku, aku tak peduli lagi meski noda darahnya ini tak bisa hilang dari seragamku, yang aku pikirkan sekarang hanyalah keselamatannya. Aku hanya ingin melihatnya kembali tersenyum meski senyum itu bukan untukku.
Tiba juga aku di rumah sakit terdekat, R.S.Boromeus. Kemudian dengan segera, beberapa perawat membawanya ke ruang UGD. Aku mengikutinya hingga terhenti sampai didepan pintu bertuliskan UGD karena tidak seorang suster atau perawatpun yang memperbolehkan aku menemani Bintang didalam. Dengan pasrah dan perasaan yang berkecamuk, aku berjalan gontai, dan tak menyadari tubuhku yang melemas telah menabrak dinding rumah sakit disampingku, lalu terduduk lemas dilantai rumah sakit.
“Rin, ayo jangan duduk di sini, ya?” Sebentuk jemari tiba-tiba menggenggam tanganku dan menuntunku untuk duduk di kursi-kursi rumah sakit yang berjajar enam-enam.
“Alan, kok ada disini?” tanyaku ketika menyadari Alan-lah yang membawaku ke kursi ini dalam keadaanku yang kacau.
“Tadi Alan nyusul pake motor. Gak mungkin aku ngebiarin temen aku luka parah dan gak jelas kabarnya. Aku kira, kamu cuma bakal nganterin Bintang sampe dia masuk UGD aja...”
“Aku gak mungkin ninggalin Bintang sendirian, Lan. Apalagi dalam keadaan kayak gini!”
“Oiya, Alan harusnya tahu itu!” gumamnya menunduk.
“....mmmmmhhikss...hikssss...” aku tak bisa lagi menahan isak yang kutahan dari tadi.
“Udah dong, Rin! Jangan nangis, ya?” pinta Alan sambil menghapus air mataku yang terus mengucur.
“Lan, aku gak...hikss..hiks.. gak mau terjadi yang enggak-enggak sama Binn...hikss..tang... Aku g...hiks-hiks..g..gak mau kalo nantinya aku gak bisa hikss.. ngeliat Bintang lagiiiii!” isakku sendu. Dan Alan membiarkan aku bersandar lemah dipundaknya perlahan aku rasakan rangkulan tangannya ia lingkarkan kepundakku kemudian dia mulai mengusap-usap kepalaku, dia berusaha menenangkan aku yang kini menggigil karena tak henti-hentinya menangis.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Sabtu

Rintik Banyu (cerita bersambung: Kamu Selalu Kutunggu - part2)

Original created by Noona Luna (kucingselam)

Sesampainya di sekolah, aku memarkir motorku diantara motor-motor lainnya yang telah terparkir dengan baik. Sekejap aku tatap lapangan parkir, mencari sosok motor yang begitu aku kenali yaitu motor yang pemiliknya begitu aku kagumi, ternyata motornya belum terparkir diantara motor-motor itu. Kemudian aku menuju kelasku, kelas XII IPA 3.
Keadaan kelas dipagi ini seperti biasa, penuh kesibukan menyalin pr-pr yang belum dikerjakan.
“Rin, kamu pr fisika udah belum?” tanya Sasa.
“Hee.. udah sih, tapi gak yakin.”
“Gak apa-apa. Boleh liat kan?”
“Iya.. nih.. sok aja...” jawabku sambil memberikan buku latihan fisika yang baru saja aku keluarkan dari dalam ranselku.
Aku menengok, mengamati seisi ruangan, seraya mencari sosok Bintang yang belum juga aku temukan. Ternyata dia memang belum datang. Kemana ya dia? Padahal lima menit lagi bel tanda masuk sekolah akan segera berbunyi.
“Bin, Fisika enggeus?” tiba-tiba terdengar suara Hafis dari ujung ruangan beberapa saat kemudian.
Aku menengok kearah sumber suara dan aku dapati sosok Bintang yang tengah menaruh tasnya diatas meja dan dengan buru-buru dikeluarkannya buku latihan fisika dari tas yang baru saja dia taruh.
“Dasar.. pasti belum ngerjain pr!” gumamku sambil tersenyum melihat tingkahnya yang begitu terburu-buru.
Tak lama kemudian bel pertanda masuk sekolah berbunyi. Pensil di tangan Bintang masih meliuk-liuk di atas kertas dengan cepat. Dan keadaan itu terhenti, tepat ketika guru fisika kami tercinta memasuki ruangan XII IPA 3.
Setelah berdoa, kami memulai pelajaran dengan baik sampai tiba saatnya pergantian pelajaran, lalu istirahat. Tak banyak yang dapat aku lakukan ketika waktu istirahat. Paling hanya mundar-mandir di dalam kelas atau pergi ke kantin yang sesak dengan murid-murid yang berdesakan didepan warung-warung. Maklumlah, kantin sekolah kami ini memang sempit sekali tak luas dan leluasa seperti kantin-kantin sekolah yang mewah yang sering aku lihat difilm-film. Selain itu, faktor lain yang sering membuat aku malas pergi ke kantin diwaktu istirahat pertama adalah waktunya yang begitu sempit, yaitu hanya 15 menit saja. Mengantrinya saja lama, belum waktu yang dibutuhkan untuk membuat makanan yang dipesan, lalu menunggu kembalian. Ahh.. menyiksa sekali! Lebih baik menunggu di kelas saja. Atau jajannya nanti waktu istirahat kedua yang waktunya lebih panjang. Tapikan hari ini hari Jumat, jadi aku memutuskan untuk mengobrol di dalam kelas dengan teman sebangkuku, Cherry.
***
Bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi. Hari ini di sekolah seperti sebelum-sebelumnya tak pernah terucap kata walau sepatahpun dari mulutku untuk Bintang, begitupun sebaliknya. Kami hanya beberapa kali bertemu pandang disela-sela pelajaran.
Hari ini aku pulang tanpa ada kejadian langka seperti kemarin dan aku juga tak melihat Bintang meninggalkan sekolah. Tampaknya dia baru akan pulang nanti setelah Jumatan berakhir. Baguslah, karena rumahnya yang jauh tak akan memungkinkan bagi Bintang untuk melaksanakan Jumatan di masjid dekat rumahnya.
Dengan enggan, aku ambil HP dari dalam ranselku kemudian aku bulatkan tekad untuk menuliskan beberapa kalimat untuk kemudian aku kirimkan kepada Bintang.
To : Bintang
Medh siang Bintang?
Mw Jumatan dckuL,iia?
Atw dmasjid dpn ckuLaa?
Hmmpf.. Rintik puLng dLuan iia?!
Btw, bsk jd kn?
Ywdh, c u..!
RepLy
Kemudian tak lama berselang aku terima laporan terkirim. Lalu aku segera memasukkan kembali Hpku kedalam ransel dan bergegas mengendarai motorku, pulang.
Sesampainya di rumah aku menemukan ayah yang tengah bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Selepas ayah berangkat dan aku mengunci pintu, aku segera menuju kamarku, mengganti baju, dan mengambil Hp dari dalam tasku kemudian melongoknya. Ternyata tak ada satupun pesan untukku.
Ada sedikit gurat kecewa yang terlukis dihatiku, tapi ahh... itu hal biasa. Bintang memang tak pernah lagi membalas smsku sejak setahun yang lalu setelah dia mengetahui perasaanku padanya. Jadi bagiku adalah hal biasa untuk mengubur dalam-dalam semua perasaan kecewa yang membuncah.
Dan aku menunggu di rumah dalam sepi sampai ayah kembali dari masjid dan mengajakku makan di luar karena mama belum pulang dari kampus. Dan karena tak ada yang bisa dimasak di rumah. Lebih tepatnya, karena terlalu terlambat untukku menanak nasi sekarang.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)

Rabu

Rintik Banyu (cerita bersambung: Kamu Selalu Kutunggu - part1)

Kamu Selalu Kutunggu
Original created by Noona Luna (kucingselam) 
 
 “Rin, tunggu bentar!”
Seketika aku menoleh dan berbalik. Sesosok yang begitu aku tunggu untuk sekali saja memanggil namaku kini memanggilku. Seperti mimpi rasanya, karena sudah lama sekali dia tak pernah mengucapkan sepatah katapun padaku. Oh.. pujaanku!
“Iya?” tanyaku bersemu dan sesekali tertunduk malu.
Pilar-pilar koridor sekolah itu kini menjadi saksi perdamaian kami setelah perang dingin berkepanjangan tanpa sebab.
“Ini, teks lagu kamu. Ketinggalan di meja.”
 “Oh.. i..iya..mmm kok tahu itu punyaku?” tanyaku gugup.
“Ada paraf kamunya.”
“Ohh..iiiyaaa... lupa..!” aku tersenyum dan tertunduk, kemudian aku raih kertas ditangannya yang dia julurkan padaku. “Hmm.. makasih..” lanjutku sambil memandangi kertas di tanganku.
“Sama-sama. Oiya, mau pulang bareng gak?”
“Ehh.. apa?” tanyaku takjub tak percaya dengan apa yang ku dengar. Aku mendongak, maka terlihatlah senyum yang begitu indah mengembang di mukanya.
“Iya, aku lihat tadi pagi kamu dianterin, jadi pasti gak bawa kendaraankan?”
“Yap.. hmm boleh.” Jawabku sambil tertunduk malu. Ooh, tak biasanya aku bertindak seperti ini seperti anak kecil yang baru mengenal getaran cinta saja!
Kemudian beberapa detik kemudian aku tengah berjalan di sampingnya menuju ke tempat parkir.
“Ayo, naik.” Katanya setelah motornya berada tepat di hadapanku.
Aku tersenyum, tak mampu berkata sepatahpun. Aku hanya dapat melakukan apa yang dia katakan.
Selama perjalanan aku hanya terdiam, menikmati setiap detik yang aku lalui sekarang. Sesekali senyum mengembang di wajahku, menyadari kenyataan bahwa aku kini tengah melingkarkan kedua lenganku di pinggangnya. Hal yang memimpikannyapun aku tak berani.
“Rin, rumah kamu tuh belok kemana?” tanyanya memecah keheningan yang tengah aku nikmati.
“Oh, iya.. di depan itu ambil jalan yang ke kiri.” Jawabku cepat-cepat, dan aku baru tersadar, rumahku sudah begitu dekat. Kekecewaan aku rasakan, kecewa karena kenyataannya bahwa rumahku begitu dekat dengan sekolah. Tapi aku tetap bersyukur dengan waktu yang sempit ini, dimana aku bisa bersamanya, begitu dekat, dekat sekali bagiku karena belum pernah sedekat ini sebelumnya. “Nah di belok kanan.” Kataku tiba-tiba.
Dia membelokkan motornya ke kompleks rumahku.
“Nah, stooop.. ini rumahku.” Kataku sambil melepaskan rangkulanku.
Kini motornya telah berenti tepat di depan gerbang rumahku. aku turun dari motornya.
“Ayo, mampir dulu.” Ajakku sambil menggerser gerbang hingga terbuka.
“Ok.” Jawabnya tersenyum seakan mengerti maksudku, ia memasukkan motornya ke dalam dan memarkirnya disana.
Aku memencet bel rumah, tak lama kemudian pintu rumahku terbuka.
“Mama.. assalamualaikum.” Kataku.
“Waalaikum salam. Teh, pulang sama siapa?” tanya mama sambil melongok ke belakangku tempat Bintang berdiri dan tersenyum seraya memberi salam pada mama.
“Ini, Ma. Temen teteh, namanya Bintang.”
“Ya udah ajakin masuk donk. Ayo, Bintang masuk.” Ajak mama.
Aku masuk ke dalam rumah diikuti Bintang yang berjalan di belakangku. Kemudian aku persilahkan Bintang duduk di ruang tamu.
“Bintang, mau minum apa?” tanyaku sambil tersenyum.
“Enggak usah repot-repot kali, Rin.”
“Enggak repot kok. Jadinya mau minum apa?”
“Terserah.”
“Sari jeruk?”
“Boleh.”
“Ya udah, aku bikinin dulu iya. Maaf aku tinggal bentar.”
“Ok.” Jawabnya singkat.
Kemudian aku menuju dapur dengan melewati ruang keluarga, aku mengerling mama yang sedang menonton televisi, tersenyum padanya ketika mama menengok ke arahku, lalu menuju dapur untuk menyiapkan minuman.
Beberapa menit kemudian, aku yang telah mengganti baju seragamku dengan baju santai membawa minuman sari jeruk lengkap dengan makanan kecil ke ruang tamu dimana Bintang berada dan tengah menungguku.
“Bintang, maaf lama ya?”
“Eh, udah ganti baju. Gak apa-apa kok. Rin.” Jawab Bintang sambil kembali mengembangkan senyumnya yang jarang aku lihat bila berada di sekolah.
“Silahkan diminum.”
“Iya, makasih.” Jawabnya, kemudian dia mengambil gelas yang tertata di meja dan mulai mereguknya, hingga sari-sari jeruk itu membasahi kerongkongannya.
“Makanan kecilnya juga dicoba.” Katanya.
“Oh, tentu aja, silahkan.” Jawabku tersenyum.
Aku memandangnya, memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semua itu begitu menarik bagiku. Dan terlalu berharga untuk dilewatkan.
“Bintang, udah makan siang belom? Kalo belum kita makan dulu yuk?”
“Kamu belum makan, Rin?”
“Aku kan tiap hari juga bawa bekal, jadi pasti udah makan.”
“Aku juga udah kok.” Ujarnya.
Keheningan meliputi kami berdua. Aku kini tengah memandangi gelas dengan isinya yang tinggal setengah di atas meja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan, tentangnya dan apapun yang berhubungan dengan dirinya. Tapi tak satupun terucap dari bibirku. Bukan karena aku takut, tapi aku tahu waktunya tak tepat, aku takut kami kembali jauh seperti kemarin.
“Rin..” panggilnya memecah keheningan.
“Iya.” Dan pandanganku kini beralih padanya.
“Kamu hari sabtu ada acara gak?”
“Ada, tapi Cuma dari jam 3 sampai jam 5 sore aja. Selain daripada jam segitu aku gaka ada acara.”
“Oh.”
“Emangnya kenapa?” aku balik bertanya.
“Boleh gak aku dateng kesini abis maghrib?”
“Boleh.”
“Makasih.”
“Sama-sama.” Tanpa aku sadari, senyum mengembang di wajahku yang kini memerah. Aku masih tak yakin, apa aku sedang terbangun atau sedang terapung-apung di alam mimpi? Perasaan ini tiba-tiba saja terasa seakan terbang, melejit, melompat, menari, dan mendendangkan balada merdu, indah, penuh cinta, beserta berjuta perasaan yang aneh menyertai kejadian ini. Sekali lagi, tak sekalipun aku berani memimpikan hal ini.
“Hmmm.. ngomong-ngomong aku ada bimbel bentar lagi. Gak apa-apa kalo aku pulang sekarang?”
“Oh.. gak apa-apa kok.”
“Kalo gitu, aku mau pamit dulu deh. Ibu kamu mana?”
“Bentar.” Aku segera menuju ruang keluarga. Kutemui mama dan memberitahunya bahwa Bintang ingin pamit pulang.
Mama menuju ruang tamu dengan aku berjalan di belakangnya.
“Tante, saya pulang dulu.”
“Loh kok buru-buru?”
“Iya tante ada bimbel. Jadi sekarang mau pamit aja.”
“Oh, ya hati-hati di jalan iya?”
“Iya tante, Rin, assalamualaikum.” Katanya sambil menuju pintu keluar.
“Waalaikumsalam.” Jawab mama dan aku hampir berbarengan.
Kini mama kembali menuju kedalam, dan aku menuju ke arah gerbang, membukanya, dan membiarkan Bintang keluar melewatiku dengan mengendarai motornya. Ketika telah melewati gerbang, dia mengerem motornya, menoleh kearahku.
“Sampai ketemu besok di sekolah, Rin.”
“Iya.” Sahutku. Tentu saja besok masih hari Jumat.
“Dah.” Katanya seraya melambaikan tangan dan mulai memutar gas.
“Dadah.” Jawabku sambil melambaikan tanganku. Lalu aku menutup gerbang dan masuk ke dalam rumah. Hari ini sungguh hari yang menyenangkan dan tak terduga segala sesuatunya.
***
Hari ini aku benar-benar senang.. “Oh.. semoga kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir..” Aku bergumam kepada langit-langit kamarku. Sore ini terasa begitu sejuk dan menenangkan. Sesaat aku terpejam dalam kedamaian, hingga adzan magrib berkumandang. Aku terbangun, menunaikan kewajiban beribadah, membantu mama menyiapkan makan malam, makan malam bersama keluarga, lalu kembali ke kamar untuk belajar dan mengerjakan pr, kemudian kembali merebahkan diri diatas tempat tidur hingga terlelap, lalu terbangun di pagi hari Jumat yang dingin.
-to be continued-
Original created by Noona Luna (kucingselam)